Perempuan dan Belenggu yang Tak Terlihat

Di tengah laju kemajuan zaman, perempuan modern kerap diyakini telah meraih kebebasan dan kesetaraan. Namun, di balik narasi manis itu, belenggu masih ada—hanya saja kini ia hadir dalam bentuk yang lebih samar. Ia tak lagi berupa aturan ketat yang nyata terlihat, melainkan menjelma dalam ekspektasi sosial yang terselip halus, bahkan kerap terbungkus dalam nasihat penuh kasih.

Kalimat seperti:
"Jangan terlalu menonjol, nanti susah dapat jodoh."
"Perempuan tak perlu terlalu sukses, yang penting bisa mengurus rumah."
"Bekerja boleh, tapi jangan lupakan kodrat sebagai istri dan ibu."

Sekilas, ungkapan ini terdengar seperti wujud kepedulian. Namun sesungguhnya, inilah belenggu yang lebih berbahaya: ia datang dari orang-orang terdekat, bahkan dari suara kecil dalam diri kita sendiri. Itulah yang membuatnya sulit dilawan.
Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah cerminan tajam atas realitas ini. Hidup di masa kolonial, di tengah sistem yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, Nyai Ontosoroh menolak tunduk. Ia belajar, bekerja, dan berdiri tegak sebagai pemimpin atas dirinya sendiri. Ia membuktikan bahwa perempuan mampu mendefinisikan hidupnya, meski dunia terus meragukannya. Lebih dari itu, ia mengajarkan bahwa kebebasan bukanlah pemberian—ia harus diperjuangkan.

Hari ini, bentuk belenggu mungkin telah berubah, tapi esensinya tetap sama. Perempuan masa kini dihadapkan pada tuntutan ganda: sukses dalam karier, tapi tetap lembut dan penuh perhatian di rumah. Ambisius, tapi jangan terlalu menonjol. Mandiri, tapi jangan sampai membuat orang lain merasa terancam. Ini adalah bentuk penindasan yang lebih halus, karena kerap datang dari mereka yang katanya mencintai kita. Konsep tersebut bisa jadi lebih berbahaya, karena sering kali kita serap hingga tanpa sadar diri sendirilah yang akhirnya menjadi penghalang untuk meraih mimpi. 
Lalu, bagaimana kita melawan?

Pertama, berpikir kritis dan rasional. Seperti Nyai Ontosoroh, kita harus berani menata arah hidup sesuai kehendak kita sendiri, bukan sekadar memenuhi ekspektasi sosial.

Kedua, berani mengambil risiko. Setiap pilihan memiliki konsekuensi, tapi lebih baik menghadapi konsekuensi itu daripada hidup dalam penyesalan karena membiarkan diri terkungkung.

Ketiga, membangun solidaritas. Perempuan harus saling mendukung, menciptakan ruang aman di mana setiap perempuan merasa diterima dan dihargai tanpa takut dihakimi.

Kita tidak bisa lagi membiarkan belenggu-belenggu halus ini meredam potensi kita. Kita harus berani seperti Nyai Ontosoroh—berani berpikir, berani memilih, dan berani bertanggung jawab atas pilihan kita.

"Hidup ini adalah milik kita, maka hanya kita sendirilah yang berhak menentukan arah langkah kita."

Narasi ini adalah pengingat bagi setiap perempuan untuk tidak membiarkan siapa pun, bahkan mereka yang mengatasnamakan cinta, membatasi diri kita. Jadilah pemimpin bagi diri kita sendiri. Dunia ini membutuhkan suara, kekuatan, dan keberanian kita.

H_W_Sarah, Author PilihanPerempuan

Tulisan Populer

Pilihan Perempuan: Pilihan yang Disadari Adalah Pilihan yang Membebaskan

Merdeka atau Terjebak: Ketika Kebebasan Perempuan Ditukar dengan Uang