Merdeka atau Terjebak: Ketika Kebebasan Perempuan Ditukar dengan Uang
Di era digital, berbagai narasi berseliweran di media sosial, membentuk opini dan pola pikir banyak orang. Salah satu fenomena yang kian mencuat adalah glorifikasi ketergantungan finansial perempuan kepada pasangan, bahkan dalam kondisi yang merugikan dirinya sendiri. Ungkapan seperti "Nggak apa-apa diselingkuhin, yang penting duitnya ngocor" menjadi bukti bahwa perempuan masih sering ditempatkan dalam posisi tawar yang rendah. Seakan-akan, kebebasan memilih dan harga diri bisa dibarter dengan kenyamanan finansial. Fenomena ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi cerminan dari kegagalan sistem dalam memberdayakan perempuan untuk berpikir kritis, mandiri, dan berdaya.
Ketika Finansial Menjadi Jerat
Ketergantungan finansial bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga persoalan kebebasan dan kendali atas hidup. Ketika seorang perempuan menggantungkan seluruh aspek kehidupannya pada pasangan, ia kehilangan kemampuan untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Bukan berarti perempuan tidak boleh mengandalkan pasangan, tetapi menjadikan uang sebagai satu-satunya alasan bertahan dalam hubungan yang merugikan adalah bentuk pemiskinan pola pikir.
Kemandirian finansial bukan sekadar tentang memiliki pekerjaan atau penghasilan, tetapi tentang memiliki pilihan. Perempuan yang berdaya secara ekonomi memiliki daya tawar lebih tinggi dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Ia bisa menentukan apa yang layak ia terima, bukan sekadar bertahan karena keterpaksaan.
Spirit Women Empowerment: Lebih dari Sekadar Isu Feminisme
Pemberdayaan perempuan bukan semata-mata soal kesetaraan gender dalam pekerjaan atau pendidikan, tetapi juga soal cara berpikir. Perempuan yang diberdayakan adalah perempuan yang mampu berpikir kritis, tidak mudah terseret arus, dan memiliki kesadaran penuh akan hak serta potensinya.
Women empowerment bukan sekadar slogan kosong. Ini adalah spirit yang mengajarkan bahwa perempuan berhak memiliki kendali atas hidupnya, baik dalam keputusan kecil maupun besar. Menormalisasi pola pikir bahwa perempuan boleh diperlakukan semena-mena selama ada uang yang mengalir adalah pengingkaran terhadap semangat kemandirian itu sendiri. Perempuan bukan objek yang bisa ditukar dengan fasilitas dan kenyamanan sesaat.
Berpikir Kritis di Era Informasi
Di tengah derasnya arus informasi, perempuan harus lebih waspada terhadap konstruksi sosial yang justru menjerat mereka. Budaya konsumtif, gaya hidup glamor, dan glorifikasi hubungan toksik sering kali dikemas dengan narasi yang menggoda: "yang penting kaya," "yang penting hidup enak," tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
Berpikir kritis berarti mempertanyakan, menimbang, dan mengambil keputusan berdasarkan kesadaran penuh, bukan sekadar ikut-ikutan tren atau standar sosial yang semu. Kebebasan berpikir dan mengambil keputusan adalah hak setiap perempuan. Dan hak ini harus dijaga dengan pemahaman bahwa nilai diri tidak diukur dari seberapa banyak uang yang diberikan pasangan, tetapi dari seberapa besar kendali yang dimiliki atas kehidupan sendiri.
Kesimpulan: Perempuan Bukan Komoditas
Perempuan adalah individu yang merdeka, bukan sekadar pendamping yang bisa dipertukarkan dengan uang dan fasilitas. Menormalisasi ketergantungan finansial tanpa kemandirian berpikir hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan yang telah mengakar sejak lama.
Maka, mari berpikir lebih jauh; apakah kita ingin menjadi perempuan yang punya pilihan atau hanya menjadi perempuan yang bertahan karena tidak punya jalan lain? Women empowerment bukan sekadar wacana, tetapi sebuah sikap yang harus diperjuangkan dalam kehidupan nyata. Dan semuanya dimulai dari satu hal sederhana, yaitu berpikir kritis dan tidak membiarkan diri terjebak dalam narasi yang melemahkan.
H_W_Sarah, Author PilihanPerempuan.